Tuesday, September 12, 2017

KERAGAMAN INDIVIDU DALAM KECAKAPAN DAN KEPRIBADIAN




Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru mungkin akan dihadapkan dengan puluhan atau bahkan ratusan peserta didiknya, dengan masing-masing karakateristik yang dimilikinya.
Di antara sekian banyak karakteristik yang dimiliki peserta didik, yang penting dan perlu diketahui guru adalah berkenaan dengan kecakapan dan kepribadian peserta didiknya.Dari segi kecepatan belajar, ada peserta didik yang menunjukkan cepat dalam menangkap pelajaran, namun sebaliknya ada juga yang sangat lambat. Dari segi kepribadian, guru akan berhadapan dengan ciri-ciri kepribadian para peserta didiknyanya yang khas atau unik.

Berhadapan dengan peserta didik yang memiliki kecepatan belajar dan memiliki ciri-ciri kepribadian yang positif, guru mungkin akan menganggap seolah-olah tidak ada hambatan. Namun ketika berhadapan dengan peserta didik yang lambat dalam belajar atau ciri-ciri kepribadian yang negatif, adakalanya guru dibuat frustrasi. Ujung-ujungnya dia langsung saja akan menyimpulkan bahwa peserta didiklah yang salah. Peserta didik dianggap kurang rajin, bodoh, malas, kurang sungguh-sungguh dan sebagainya.
Jika saja guru tersebut dapat memahami tentang keragaman individu, belum tentu dia akan langsung menarik kesimpulan bahwa peserta didiklah yang salah. Terlebih dahulu mungkin dia akan mempelajari latar belakang sosio-psikologis peserta didiknya, sehingga akan diketahui secara akurat kenapa peserta didik itu lambat dalam belajar, selanjutnya dia berusaha untuk menemukan solusinya dan menetukan tindakan apa yang paling mungkin bisa dilakukan agar peserta didik tersebut dapat mengembangkan perilaku dan pribadinya secara optimal.
Membicarakan tentang keragaman individu secara luas dan mendalam sebetulnya sudah merupakan kajian tersendiri yaitu dalam bidang Psikologi Diferensial. Untuk kepentingan pengetahuan guru dalam memahami peserta didiknya, di bawah ini akan diuraikan dua jenis keragaman individu yaitu keragaman dalam kecakapan dan kepribadian.
1. Keragaman Individu dalam Kecakapan
Kecakapan individu dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kecakapan nyata (actual ability) dan kecakapan potensial (potential ability).
Kecakapan nyata (actual ability) yaitu kecakapan yang diperoleh melalui belajar (achivement atau prestasi), yang dapat segera didemonstrasikan dan diuji sekarang. Misalkan, setelah selesai mengikuti proses perkuliahan (kegiatan tatap muka di kelas), pada akhir perkuliahan mahasiswa diuji oleh dosen tentang materi yang disampaikannya (tes formatif). Ketika mahasiswa mampu menjawab dengan baik tentang pertanyaan dosen, maka kemampuan tersebut merupakan atau kecakapan nyata (achievement).
Sedangkan kecakapan potensial merupakan aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri individu dan diperoleh dari faktor keturunan (herediter). Kecakapan potensial dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu kecakapan dasar umum (inteligensi atau kecerdasan) dan kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitudes).
C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat unidimensional (kecerdasan tunggal), yakni hanya berhubungan dengan aspek intelektual saja, seperti teori inteligensi yang dikemukakan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya. Menurut pendapatnya bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi kode “g” (genaral factor) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific factor).
Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary Mental Abilities”, bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu : (1) kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2) kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical ability); (6) kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan (7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).
Sementara itu, J.P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu:
a. Operasi Mental (Proses Befikir)
1) Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru).
2) Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
3) Memory Recording (ingatan yang segera).
4) Divergent Production (berfikir melebar=banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).
5) Convergent Production (berfikir memusat= hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).
6) Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).
b. Content (Isi yang Dipikirkan)
1) Visual (bentuk konkret atau gambaran).
2) Auditory.
3) Word Meaning (semantic).
4) Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
5) Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).
c. Product (Hasil Berfikir)
1) Unit (item tunggal informasi).
2) Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
3) Relasi (keterkaitan antar informasi).
4) Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
5) Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
6) Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Howard Gardner (1993), mengemukakan teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai tampak dalam tabel di bawah ini :
INTELIGENSI
KEMAMPUAN INTI
1. Logical – Mathematical
Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional.
2. Linguistic
Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.
3. Musical
Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik.
4. Spatial
Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut.
5. Bodily Kinesthetic
Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil.
6. Interpersonal
Kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.
7. Intrapersonal
Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.
Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak.
Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes Binet Simon -- walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven.
Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung IQ seseorang adalah :
                        MA (Mental Age)
IQ=  100  x
                    CA (Chronological Age)






Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ
KATEGORI
PERSENTASE
> 140
Jenius (Genius)
0.25 %
130-139
Sangat Unggul (Very Superior)
0.75 %
120-129
Unggul (Superior)
6 %
110-119
Diatas rata-rata (High Average)
13 %
90-109
Rata-rata (Average)
60 %
80 - 89
Dibawah Rata-Rata (Low Average)
13 %
70 - 79
Bodoh (Dull)
6 %
50 - 69
Debil (Moron)
0.75 %
25 - 49
Imbecil
0.20 %
<> 
Idiot
0.05 %
Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan yang sistematis tentang indikator – indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan diketahui kelompok peserta didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.
Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test).
Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.
Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.
Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang Depdiknas (1986) telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan komitmen terhadap tugas, yaitu:
a. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya);
b. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan;
c. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis
d. Mampu belajar/bekerja secara mandiri;
e. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);
f. Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya
g. Cermat atau teliti dalam mengamati;
h. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah;
i. Mempunyai minat luas;
j. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi;
k. Belajar dengan dan cepat;
l. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat;
m. Mampu berkonsentrasi;
n. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.


2. Keragaman Individu dalam Kepribadian
Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian, tergantung sudut pandang masing-masing. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup :
a. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
b. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
c. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen
d. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
e. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
f. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang sehat sampai dengan ciri-ciri kepribadian yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth Hurlock (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat atau tidak sehat, sebagai berikut :
KEPRIBADIAN YANG SEHAT
KEPRIBADIAN YANG TIDAK SEHAT
1. Mampu menilai diri sendiri secara realistik
2. Mampu menilai situasi secara realistik
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik
4. Menerima tanggung jawab
5. Kemandirian
6. Dapat mengontrol emosi
7. Berorientasi tujuan
8. Berorientasi keluar (ekstrovert)
9. Penerimaan sosial
10. Memiliki filsafat hidup
11. Berbahagia
1. Mudah marah
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
4. Bersikap kejam
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang
6. Kebiasaan berbohong
7. Hiperaktif
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
9. Senang mengkritik/ mencemooh
10. Sulit tidur
11. Kurang rasa tanggung jawab
12. Sering mengalami pusing kepala
13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
14. Pesimis
15. Kurang bergairah
Berdasarkan uraian diatas kita dapat memahami bahwa ketika seorang guru berhadapan dengan peserta didiknya di kelas, dia dihadapkan dengan sejumlah keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki para peserta didiknya. Oleh karena itu, seyogyanya guru dapat memperlakukan peserta didik dan mengembangkan strategi pembelajaran, dengan memperhatikan aspek perbedaan atau keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki peserta didiknya. Sehingga peserta didik dapat mengembangkan diri sesuai dengan kecepatan belajar dan karakteristik perilaku dan kepribadiannya masing-masing.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Keragaman dalam Kecakapan dan Kepribadian
Timbulnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh bebagai faktor. Kendati demikian, para ahli sepakat bahwa pada dasarnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu :
a. Herediter; pembawaan sejak lahir atau berdasarkan keturunan yang bersifat kodrati, seperti : konstitusi dan struktur fisik, kecakapan potensial (bakat dan kecerdasan).
Seberapa kuat pengaruh keturunan sangat bergantung pada besarnya kualitas gen yang dimiliki oleh orang tuanya (ayah atau ibu). Berdasarkan percobaannya dengan cara mengawinkan bunga merah dengan bunga putih, Gregor Mendel mengemukakan pandangannya, bahwa : (1) tiap-tiap sifat (traits) makhluk hidup itu dikendalikan oleh keturunan; (2) tiap-tiap pasangan faktor keturunan menentukan bentuk alternatif sesamanya, dan satu dari pada pasangan alternatif itu memegang pengaruh besar; dan (3) pada waktu proses pembentukan sel-sel kelamin, pasangan faktor keturunan itu memisah, dan tiap-tiap sel kelaminnya menerima salah satu faktor dari pasangan keturunan itu. Hasil percobaan Mendel ini menjelaskan kepada kita bahwa faktor keturunan memegang peranan penting bagi perilaku dan pribadi individu.
Beberapa asas tentang keturunan di bawah ini akan memberikan gambaran pembanding kepada kita tentang apa-apa yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya :
1) Asas Reproduksi
Menurut asas ini bahwa kecakapan (achievement) dari masing-masing ayah atau ibunya tidak dapat diturunkan kepada anak-anaknya. Sifat-sifat atau ciri-ciri perilaku yang diturunkan orang tua kepada anaknya hanyalah bersifat reproduksi, yaitu memunculkan kembali mengenai apa yang sudah ada pada hasil perpaduan benih saja, dan bukan didasarkan pada perilaku orang tua yang diperolehnya melalui hasil belajar atau hasil berinteraksi dengan lingkungannya.
2) Asas Variasi
Bahwa penurunan sifat pembawaan dari orang tua kepada anak-anaknya akan bervariasi, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini disebabkan karena pada waktu terjadinya pembuahan komposisi gen berbeda-beda, baik yang berasal dari ayah maupun ibu. Oleh karena itu, akan didapati beberapa perbedaan sifat dan ciri-ciri perilaku individu dari orang yang bersaudara, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama, sehingga mungkin saja kakaknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ayahnya sedangkan adiknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ibunya atau sebaliknya.
3) Asas Regresi Filial
Terjadi pensurutan sifat atau ciri perilaku dari kedua orangtua pada anaknya yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik dalam perpaduan pembawaan ayah dan ibunya, sehingga akan didapati sebagian kecil dari sifat-sifat ayahnya dan sebagian kecil pula dari sifat-sifat ibunya. Sedangkan perbandingannya mana yang lebih besar antara sifat-sifat ayah dan ibunya ini sangat tergantung kepada daya kekuatan tarik menarik dari pada masing-masing sifat keturunan tersebut.
4) Asas Jenis Menyilang
Menurut asas ini bahwa apa yang diturunkan oleh masing-masing orang tua kepada anak-anaknya mempunyai sasaran menyilang jenis. Seorang anak perempuan akan lebih banyak memilki sifat-sifat dan tingkah laku ayahnya, sedangkan bagi anak laki-laki akan lebih banyak memilki sifat pada ibunya.
5) Asas konformitas
Berdasarkan asas konformitas ini bahwa seorang anak akan lebih banyak memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku yang diturunkan oleh kelompok rasnya atau suku bangsanya.Misalnya, orang Eropa akan menyerupai sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku seperti orang-orang Eropa lainnya dibandingkan dengan orang-orang Asia.
b. Environment; lingkungan tempat di mana individu itu berada dan berinteraksi, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pada pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut :
1) Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial
Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya.
Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya.
Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali.
2) Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu
Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai :
a) Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah.
b) Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.
c) Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.
d) Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga dikamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.
c. Maturity; kematangan yang mengacu pada tahap-tahap atau fase-fase perkembangan yang dijalani individu. Kematangan pada awalnya merupakan hasil dari adanya perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktural pada diri individu, seperti adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, otot, syaraf dan kelenjar. Kematangan seperti ini disebut kematangan biologis. Kematangan terjadi pula pada aspek-aspek psikis, seperti : kemampuan berfikir, emosi, sosial, moral, dan kepribadian, religius. Kematangan aspek psikis ini diperlukan adanya latihan dan belajar tertentu.
Ketiga faktor tersebut di atas dapat dibuat formulasi sebagai berikut :
P= f (H.E.M)


Text Box: P= f (H.E.M)

P= Pribadi atau perilaku
f = fungsi
H= Herediter (pembawaan)
E=Environment (lingkungan, termasuk belajar)
M=Maturity (tingkat kematangan)

No comments:

Post a Comment